TEMPO.CO, Jakarta -Pengusaha menolak sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP karena tidak pro-investasi dan merugikan iklim usaha. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, mengatakan akan mengajukan keberatan serta sejumlah masukan kepada presiden, sebelum pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas kembali aturan tersebut.
“Kami akan menyisir kembali mana pasal-pasal yang anti-investasi, mana yang perlu diperbaiki,” kata dia, kemarin.
Salah satu bagian dari RKUHP yang dipersoalkan pengusaha adalah pidana korporasi. Menurut Danang, pidana korporasi memperluas pihak yang harus bertanggung jawab tatkala terjadi perkara yang melibatkan perusahaan. Dia menyebutkan hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang mengamanatkan tanggung jawab kepada dewan komisaris dan direksi.
“Pada RKUHP, tanggung jawab diperluas kepada pemegang saham. Bagaimana dengan perusahaan terbuka yang sahamnya dimiliki publik? Apakah mereka bisa jadi terpidana juga?” ucap dia. Danang juga menyoroti definisi penerima manfaat korporasi yang dia nilai multitafsir. “Penerima manfaat ini banyak sekali, ada tenaga kerja, ada masyarakat di sekitar perusahaan, bahkan pemerintah bisa disebut penerima manfaat karena menerima pajak dari korporasi.” Meski begitu, Danang mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo yang menunda pengesahan RKUHP dan membuka ruang pembahasan dan peninjauan kembali aturan tersebut.
Wakil Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, mengatakan investor membutuhkan kepastian hukum. Dia menilai RKUHP memudahkan manipulasi yang dapat membatalkan kontrak usaha atau mengkriminalkan pelaku usaha dan kegiatan usaha. “Akhirnya risiko berusaha di Indonesia menjadi tidak bisa diprediksi. Dalam skenario terburuk, perusahaan dan pelaku usaha bisa dikriminalisasi,” ujar dia.
Shinta menambahkan, Apindo juga meminta pemerintah dan Dewan untuk lebih memperhatikan konsekuensi penetapan kebijakan perundangan terhadap daya saing dan kelancaran berusaha di Indonesia. “Seharusnya ada kajian dampak ekonominya. Ini kerap tidak dilakukan sehingga banyak kebijakan yang membunuh peluang investasi,” kata dia.